GenPI.co Jabar - Kasus yang menimpa Nurhayati di Desa Citemu, Kabupaten Cirebon diharapkan menjadi bentuk pendidikan masyarakat agar tidak perlu takut melaporkan kasus dugaan korupsi.
Hal itu disampaikan pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof. Hibnu Nugroho.
“Saya kira dari kasus ini sebagai bentuk pendidikan masyarakat agar yang melapor tidak takut. khusus terhadap Nurhayati, ya, dihentikan,” ujarnya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Minggu (27/2).
Hibnu menyatakan, sistem peradilan pidana khususnya praajudikasi asas diferensiasi fungsional.
Asas tersebut yaitu pemisahan wewenang dan fungsi antara penyidik polisi dan jaksa.
Untuk kasus Nurhayati, menurutnya ada suatu pemahaman yang perlu diluruskan yaitu menentukan status tersangka merupakan kewenangan kepolisian.
“Jadi, kalau toh dilimpahkan ke kejaksaan, jaksa memberikan suatu saran sebagai bentuk ruang komunikasi prapenuntutan, itu hanya dalam hal bukti yang diajukan, bukan menambah tersangka,” jelasnya.
Bila kasus tersebut mendapat SP3, artinya polisi sudah menentukan dan menerbitkan SP3 walaupun berkas dilimpahkan (P-21) ke kejaksaan.
“P-21 'kan baru tahap pertama, belum diterima seluruhnya, baru penyerahan,” katanya.
Menurutnya, SP3 atau penghentian kasus tersebut dilakukan demi kepentingan hukum.
Hal itu karena berkaitan dengan kecukupan bukti, peran, dan sebagainya.
“Kalau memang masih ragu, tidak ada bukti, mudah-mudahan, ya, tidak (ada) bukti, ya, dihentikan,” ujarnya.
Mengenai berkas kasus Nurhayati yang dilimpahkan ke kejaksaan, Hibnu mengatakan jika jaksa melihat dari aspek kecukupan bukti.
“Karena apa pun yang terjadi, jaksa merupakan pihak yang mempertahankan perkara di persidangan,” tuturnya. (Ant)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News