Hukum Menikahi Perempuan Ditinggal Pergi Suami dengan Status Siri

10 Maret 2023 12:00

GenPI.co Jabar - Hukum menikahi perempuan ditinggal pergi suami dengan status pernikahan sebelumnya adalah siri.

Ilmu fikih menyebut suami yang meninggalkan istrinya dengan waktu yang cukup lama tanpa kabar dan tidak diketahui keberadaannya sebagai mafqûd.

Menghilangnya suami ini bisa disebabkan karena pergi tanpa kabar atau korban bencana. Ada dua pendapat ulama mengenai hal tersebut.

BACA JUGA:  Jadwal Bioskop Bogor: Ada The First Slam Dunk dan Bismillah Kunikahi Suamimu

Pertama, ulama berpandangan sang istri harus mendapat kepastian mengenai status pernikahan. Entah itu kabar talak atau tentang kematian suaminya.

Apabila itu talak, artinya harus menunggu masa iddahnya selesai baru menikah lagi. Hal tersebut, seperti penjelasan Imam As-Syafi’i rahimahullâh dalam qaul jadîd.

قوله (وَمَنْ غَابَ) بِسَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ (وَانْقَطَعَ خَبَرُهُ لَيْسَ لِزَوْجَتِهِ نِكَاحٌ حَتَّى يُتَيَقَّنَ) أَيْ يُظَنَّ بِحُجَّةٍ كَاسْتِفَاضَةٍ وَحُكْمٍ بِمَوْتِهِ (مَوْتُهُ أَوْ طَلَاقُهُ) أَوْ نَحْوُهُمَا كَرِدَّتِهِ قَبْلَ الْوَطْءِ أَوْ بَعْدَهُ بِشَرْطِهِ ثُمَّ تَعْتَدُّ لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاءُ الْحَيَاةِ وَالنِّكَاحِ مَعَ ثُبُوتِهِ بِيَقِينٍ فَلَمْ يَزُلْ إلَّا بِهِ أَوْ بِمَا أُلْحِقَ بِهِ

BACA JUGA:  Jadwal Bioskop Bandung: Missing dan Bismillah Kunikahi Suamimu Tayang Pekan ini

Artinya, “(Suami yang menghilang) karena pergi atau sebab lain (dan terputus beritanya, maka istrinya tidak boleh menikah lagi sampai diyakini) yakni diduga kuat berdasarkan hujjah, seperti berita luas atau dinyatakan mati secara hukum (kematian atau talaknya) atau semisalnya, seperti murtadnya sebelum atau sesudah terjadi persetubuhan dengan syaratnya, kemudian si istri menjalani iddah. Sebab, hukum asalnya adalah si suami masih hidup dan pernikahan tetap sah secara yakin sehingga hal ini tidak bisa hilang kecuali dengan berita yang yakin pula atau yang disamakan dengannya,” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtâj pada Hawâsyais Syarwani wal ‘Abbâdi, [Beirut, Dârul Kutub Al-‘Ilmiyah: 1996], cetakan pertama, Jilid X, halaman 456).

Kedua, si istri harus melewati masa 4 tahun kamariah. Setelah itu, melakukan masa iddah selama empat bulan 10 hari.

BACA JUGA:  Jadwal Bioskop Bekasi: Missing dan Bismillah Kunikahi Suamimu Bisa Jadi Pilihan

Penjelasan ulama mengenai penantian 4 tahun tersebut ialah batas maksimal usia kehamilan. Hitungannya, dimulai sejak sang suami menghilang atau tidak diketahui keberadaannya.

قوله (وَفِي الْقَدِيمِ تَتَرَبَّصُ أَرْبَعَ سِنِينَ) قِيلَ مِنْ حِينِ فَقْدِهِ وَالْأَصَحُّ مِنْ حِينِ ضَرْبِ الْقَاضِي فَلَا يُعْتَدُّ بِمَا مَضَى قَبْلَهُ (ثُمَّ تَعْتَدُّ لِوَفَاةٍ وَتَنْكِحُ) بَعْدَهَا اتِّبَاعًا لِقَضَاءِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بِذَلِكَ وَاعْتُبِرَتْ الْأَرْبَعُ لِأَنَّهَا أَكْثَرُ مُدَّةِ الْحَمْلِ.

Artinya, “(Menurut qaul qadîm, ia harus menunggu selama empat tahun), menurut satu versi: empat tahun itu dihitung sejak raibnya si suami. Sementara menurut versi al-ashhah, dihitung sejak ada keputusan dari hakim, maka waktu yang berlalu sebelumnya tidak di hitung. (Kemudian ia menjalani ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya, lalu boleh menikah) setelahnya. Demikian karena mengikuti putusan hukum Umar RA dalam kasus tersebut. Penggunaan acuan empat tahun, mengingat masa tersebut merupakan batas maksimal masa kehamilan.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtâj, cetakan pertama, Jilid X, halaman 457).

Pendapat qaul qadîm Imam As-Syafi’i rahimahullâh ini pendapat para ulama lainnya.


عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ عُمَرَ وَعُثْمَانَ قَضَيَا بِذَلِكَ وَأَخْرَجَ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ عَنِ بْنِ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ قَالَا تَنْتَظِرُ امْرَأَةُ الْمَفْقُودِ أَرْبَعَ سِنِينَ وَثَبَتَ أَيْضًا عَنْ عُثْمَانَ وَابْنِ مَسْعُودٍ فِي رِوَايَةٍ وَعَنْ جَمْعٍ مِنَ التَّابِعِينَ كَالنَّخَعِيِّ وَعَطَاءٍ وَالزُّهْرِيِّ وَمَكْحُوْلٍ وَالشَّعْبِيُّ

Artinya, “Diriwayatkan dari Sa’id ibnul Musayyab, sungguh Umar dan Utsman pernah memutuskan hukum demikian. Dengan sanad shahih, Sa’id bin Manshur meriwayatkan dari Ibn Umar RA dan Ibnu Abbas RA, keduanya berkata, ‘Istri mafqûd harus menanti empat tahun.’ Riwayat ini ada pula yang berasal dari Utsman dan Ibnu Masud, dan dari sekelompok tabi’in semisal An-Nakha’i, Atha’, Az-Zuhri, Mahkul, dan As-Sya’bi.” (Ibnu Hajar Al-‘Asqalâni, Fathul Bâri Syarh Shahîhil Bukhâri, [Beirut, Dârul Kutub Al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun], jilid IX, halaman 538). (NU Online)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Baehaqi Almutoif

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co JABAR