Hukum Menikahi Perempuan Ditinggal Pergi Suami dengan Status Siri

Hukum Menikahi Perempuan Ditinggal Pergi Suami dengan Status Siri - GenPI.co JABAR
ilustrasi menikah/pernikahan. foto: envato elements

GenPI.co Jabar - Hukum menikahi perempuan ditinggal pergi suami dengan status pernikahan sebelumnya adalah siri.

Ilmu fikih menyebut suami yang meninggalkan istrinya dengan waktu yang cukup lama tanpa kabar dan tidak diketahui keberadaannya sebagai mafqûd.

Menghilangnya suami ini bisa disebabkan karena pergi tanpa kabar atau korban bencana. Ada dua pendapat ulama mengenai hal tersebut.

BACA JUGA:  Jadwal Bioskop Bekasi: Missing dan Bismillah Kunikahi Suamimu Bisa Jadi Pilihan

Pertama, ulama berpandangan sang istri harus mendapat kepastian mengenai status pernikahan. Entah itu kabar talak atau tentang kematian suaminya.

Apabila itu talak, artinya harus menunggu masa iddahnya selesai baru menikah lagi. Hal tersebut, seperti penjelasan Imam As-Syafi’i rahimahullâh dalam qaul jadîd.

قوله (وَمَنْ غَابَ) بِسَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ (وَانْقَطَعَ خَبَرُهُ لَيْسَ لِزَوْجَتِهِ نِكَاحٌ حَتَّى يُتَيَقَّنَ) أَيْ يُظَنَّ بِحُجَّةٍ كَاسْتِفَاضَةٍ وَحُكْمٍ بِمَوْتِهِ (مَوْتُهُ أَوْ طَلَاقُهُ) أَوْ نَحْوُهُمَا كَرِدَّتِهِ قَبْلَ الْوَطْءِ أَوْ بَعْدَهُ بِشَرْطِهِ ثُمَّ تَعْتَدُّ لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاءُ الْحَيَاةِ وَالنِّكَاحِ مَعَ ثُبُوتِهِ بِيَقِينٍ فَلَمْ يَزُلْ إلَّا بِهِ أَوْ بِمَا أُلْحِقَ بِهِ

BACA JUGA:  Jadwal Bioskop Bandung: Missing dan Bismillah Kunikahi Suamimu Tayang Pekan ini

Artinya, “(Suami yang menghilang) karena pergi atau sebab lain (dan terputus beritanya, maka istrinya tidak boleh menikah lagi sampai diyakini) yakni diduga kuat berdasarkan hujjah, seperti berita luas atau dinyatakan mati secara hukum (kematian atau talaknya) atau semisalnya, seperti murtadnya sebelum atau sesudah terjadi persetubuhan dengan syaratnya, kemudian si istri menjalani iddah. Sebab, hukum asalnya adalah si suami masih hidup dan pernikahan tetap sah secara yakin sehingga hal ini tidak bisa hilang kecuali dengan berita yang yakin pula atau yang disamakan dengannya,” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtâj pada Hawâsyais Syarwani wal ‘Abbâdi, [Beirut, Dârul Kutub Al-‘Ilmiyah: 1996], cetakan pertama, Jilid X, halaman 456).

Kedua, si istri harus melewati masa 4 tahun kamariah. Setelah itu, melakukan masa iddah selama empat bulan 10 hari.

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Berita Sebelumnya
Berita Selanjutnya